Kesedihan Tak Berkesudahan dan Kesenangan Sementara

Barangkali perasaanku memang tak penting. Tapi, katanya, kita harus tetap menulis walau tak penting. Jadi, begini, kesedihan-kesedihan tak berkesudahan yang sudah mendekapku sejak masih belum mengenalmu.

Katanya, aku sudah berdamai. Berdamai dari apa? Aku bahkan masih mengizinkan pikiran-pikiran "selesai" itu hinggap di ruang-ruang kosong kepalaku. Hatiku bahkan sudah tidak dapat diajak bekerjasama dengan akal sehat. Hari itu, aku kalang kabut, bagai manusia paling gagal sedunia. Mengambil sepatu, memakai kaos hitam, dan celana hitam selutut, seperti ingin mengenang kematianku sendiri yang kubuat-buat dalam kepalaku. Aku pergi jam 4 pagi, tepat pukul 4. 

Pukul 4. Mataku yang belum tidur semalaman itu seperti tak pernah kenal kata tidur. Aku jalan pagi. Jalan subuh. Angin dingin mencumbu kulitku. Merangsek masuk ke pori-pori. Ah, bodo amat. Tak ada apa-apanya kedinginan ini. Di pogung, tempat biasa. Rute biasa. Jalan biasa. Hanya lihat kanan kiri. Kadang berhenti di depan Warmindo yang masih tutup. Begitu gelapnya pagi-pagi buta itu. Aku jalan semauku. Jalan sejauh yang kumau. Jalan hingga perih di dadaku hilang. Kenyataannya, perihnya masih ada bila diingat-ingat. Bahkan ketika menulis ini yang harus kuingat tiap momennya.

Hanya bersamamu aku tak butuh ingatan-ingatan itu, barangkali. Tapi, menyadari bahwa kita belum tentu selamanya bersama-sama semakin buat perih saja. Manusia itu dinamis, katanya. Misal, hari ini aku benar-benar sendiri tanpa harus memikirkan perasaan-perasaan lainnya, aku akan beri kepastian kepadamu. Ah, tentu saja. Siapa lagi yang akan memahami makna gangguan kebudayaan dalam kamus kehidupanku, selain dirimu. Ah, aku jatuh cinta seperti di film-film. Apalagi saat kita mendengarkan lagu-lagu caroline's, enola, dongker, dan segala band-band (yang rasanya hanya kamu yang bisa kuajak bicara tentang mereka) di depan perpustakaan berdua. Hari itu, aku bingung memilih film apa yang cocok untuk menggambarkan kita berdua. Before Sunrise kah? Seperti saat Celine dan Jesse ke record store lalu mendengarkan Kath Bloom berdua? Atau, seperti di Chungking Express? Saat Faye dan Police Man mendengarkan The Mamas & The Papas di kedai berdua? Atau, ah, banyak skenario di kepalaku.

Kembali ke momen jalan pagiku, aku sampai di titik lelah. Bukan dingin yang mencumbu kulitku kali ini, namun matahari yang menyengat. Sudah terbit ya, kataku. Matahari menusuk kepalaku, membakar ingatan-ingatan pedih dan lamunan tak pentingku sepanjang jalan. Aku mampir ke pusat jajanan pagi di pinggir Selokan Mataram beli sebiji dua biji jajanan pasar untuk sarapan. Aku selalu pulang lewat jalan yang sama setiap selesai jalan pagi. Aku bertemu seorang nenek yang juga selalu menyapaku setiap pulang jalan pagi. Aku bertemu anjing Border Collie (kalau tidak salah mengenali spesies) yang suka mengitari kakiku setiap lewat di depan rumahnya. Aku lihat banyak hal. Aku sudah tidak sedih lagi. Begitulah. Begitulah kesenangan sementara yang kudapat.



Comments

Popular posts from this blog

your head as my favorite bookstore

tidak seperti malam-malam kemarin

berita kehilangan